Hukum
Skandal Proyek IKN? Indikasi Pembayaran Fiktif Terungkap

Kalimantan Timur – Proyek-proyek pembangunan di Ibu Kota Negara (IKN) kembali menjadi sorotan setelah ditemukan dugaan kejanggalan dalam laporan progres fisik dan keuangan beberapa paket pekerjaan di wilayah tersebut.
Berdasarkan data yang diperoleh Diketahui pada Satuan Kerja (Satker) Penataan Bangunan dan Lingkungan (PPPW) Provinsi Kalimantan Timur, ditemukan indikasi pembayaran yang mendahului progres fisik. Temuan ini memunculkan potensi laporan fiktif dan rekayasa pada proyek-proyek yang sedang berjalan.
Dari delapan paket pekerjaan yang menjadi sorotan, di antaranya proyek pembangunan Gedung Istana Negara, Sekretariat Presiden, serta Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN, terjadi pembayaran yang diduga keras tidak sesuai dengan progres riil di lapangan.
Proyek ini termasuk dalam lingkup kerja dua satker, yaitu PPPW Kalimantan Timur dan PPPW II Kalimantan Timur, dengan total nilai kontrak mencapai triliunan rupiah.
Salah satu permasalahan penting yang berdasarkan data yang diterima Redaksi adalah adanya pembayaran untuk instalasi mesin dan material yang belum terpasang atau bahkan belum tiba di lokasi proyek.
Berdasarkan data tersebut, ditemukan bahwa pembayaran progres yang telah dilakukan merupakan gabungan dari bobot progres fisik lapangan, material yang telah ada di lokasi, serta material yang masih dalam tahap pemesanan, raw material, atau bahkan masih dalam proses pengiriman.
Sebagai contoh, dalam proyek Pembangunan Gedung Istana Negara dan Lapangan Upacara dengan nilai kontrak Rp340,617 miliar, bobot instalasi mesin dan material yang belum ada di lapangan kalau dihitung setara dengan Rp161,503 miliar.
Temuan serupa juga terjadi pada proyek Pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) 1 di KIPP IKN dengan nilai Rp456 miliar, di mana meterial belum ada dilokasi bila dihitung dengan nilai temuan sebesar Rp46,353 miliar. Sebab telah dibayar kepada penyedia jasa sementara material belum ada di lokasi.

Potensi Pelanggaran Regulasi
Dalam konteks regulasi, Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 dengan tegas menyatakan bahwa pembayaran untuk instalasi mesin atau material hanya dapat dilakukan jika material tersebut sudah tiba di lokasi dan terpasang. Namun, di dalam kontrak, terjadi perubahan terhadap ketentuan Syarat-Syarat Khusus Kontrak (SSKK) yang memungkinkan pembayaran sebelum material tiba di lokasi proyek. Hal ini menimbulkan dugaan pelanggaran aturan pengadaan, karena modifikasi tersebut tidak sesuai dengan Syarat-Syarat Umum Kontrak (SSUK), yang mewajibkan bahwa material harus telah tersedia di lokasi sebelum pembayaran dilakukan.
Perubahan kontrak yang mengizinkan pembayaran instalasi sebelum material tiba di lokasi dinilai tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam SSUK. Regulasi ini dibuat untuk memastikan bahwa setiap tahapan proyek berjalan sesuai dengan perencanaan dan menghindari adanya manipulasi dalam pengadaan material.
Tanggapan FORJIMAK dan YBH MIM
Menanggapi temuan ini, Direktur Analisis dan Pulbaket FORJIMAK, Moel, menyatakan, “Kami mencurigai adanya potensi laporan fiktif dan manipulasi progres pekerjaan di proyek-proyek ini. Pengaturan kontrak yang diubah untuk membolehkan pembayaran sebelum material tiba di lokasi adalah bentuk pelanggaran yang serius. Hal ini membuka peluang bagi pihak penyedia untuk memanipulasi laporan keuangan dan mempercepat pencairan dana tanpa dasar fisik yang valid.”
Yayasan Bantuan Hukum Masyarakat Independen (YBH MIM) melalui Hadi Soetrisno, SH, turut memberikan pandangannya, “Kami melihat indikasi kuat adanya pelanggaran dalam pelaksanaan proyek-proyek ini. Jika pembayaran dilakukan untuk material yang belum ada di lokasi, itu berarti ada kelebihan pembayaran yang berpotensi merugikan negara. Pemerintah harus segera mengambil langkah tegas untuk mengusut kasus ini. Selain itu, perlu dipertimbangkan adanya peninjauan kembali kontrak dan transparansi yang lebih ketat dalam pelaksanaan proyek.”
Desakan Pemeriksaan Lanjutan
Dengan adanya temuan ini, FORJIMAK mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan aparat penegak hukum untuk segera melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Mereka menekankan pentingnya menjaga integritas proyek IKN yang menjadi simbol masa depan bangsa. Kelebihan pembayaran senilai Rp478,4 miliar pada berbagai proyek yang belum terealisasi fisiknya adalah angka yang tidak bisa dianggap kecil.
“Proyek pembangunan IKN adalah proyek prestisius nasional. Namun, dengan adanya indikasi rekayasa laporan progres, kita harus mempertanyakan kredibilitas pihak-pihak yang terlibat. Jangan sampai proyek ini justru menjadi ladang praktik manipulasi yang berujung pada pemborosan uang negara,” tegas Moel dari FORJIMAK.
Ke depannya, FORJIMAK berencana mengajukan laporan resmi kepada pihak berwenang dan meminta penanganan cepat terhadap dugaan korupsi yang melibatkan proyek-proyek ini. Mereka juga berkomitmen untuk terus memantau perkembangan proyek dan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait pengawasan pembangunan infrastruktur. (TIM)
