Terhubung dengan kami

Hukum

Mengurai Sengkarut Administrasi Tanah: Perjuangan Koya Binti Manrau Menuntut Haknya

Restorasi News|Di sebuah sudut Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa, terdapat sepetak tanah yang menjadi sumber perdebatan. Bukan karena sengketa yang melibatkan banyak pihak, melainkan karena sebuah proses administratif yang tersendat. Koya Binti Manrau, seorang warga setempat, tengah memperjuangkan haknya untuk mendapatkan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik). Namun, perjuangan itu tak semudah yang dibayangkan.

Sejak awal, Koya telah memenuhi semua persyaratan administratif. Namanya tercatat dalam Daftar Himpunan Ketetapan Pajak (DHKP) dan Buku F Tahun 1991 sebagai pemilik sah atas lahan seluas 6.600 m², dengan nomor persil 7DII. Ia juga taat membayar pajak, sebuah kewajiban yang membuktikan bahwa ia mengakui dan mengurus kepemilikannya dengan penuh tanggung jawab.

Namun, ketika hendak mengajukan sporadik, pihak kelurahan dan kecamatan justru menolak menandatangani dokumen tersebut tanpa dengan dalih ada yang klaim punya sertifikat . Koya dan kuasa hukumnya, Hadi Soestrisno, SH, berulang kali meminta klarifikasi, namun jawaban yang mereka dapatkan masih menggantung.

Sertifikat yang Tidak Pernah Ada

Di tengah kebuntuan ini, muncul klaim bahwa lahan tersebut telah bersertifikat atas nama pihak lain. Klaim ini semakin memperumit keadaan. Namun, Hadi Soestrisno tak tinggal diam. Bersama timnya, ia melakukan pengecekan langsung ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan menggunakan aplikasi Sentuh Tanah, sebuah sistem yang memungkinkan masyarakat mengecek status kepemilikan tanah secara digital.

“Hasilnya jelas. Tidak ada satu pun titik koordinat dalam aplikasi Sentuh Tanah yang menunjukkan adanya sertifikat di atas lahan milik Koya,” ungkap Hadi.

Lebih lanjut, ia juga meneliti empat sertifikat yang disebut-sebut mencakup lahan tersebut. Setelah dilakukan pengecekan, ternyata keempat sertifikat yang digabung menjadi satu—dengan masing-masing nomor Sertifikat Hak Milik (SHM)—tidak menunjukkan keberadaan sertifikat di atas lahan Koya.

“Dengan kata lain, klaim itu tidak berdasar. Jika benar ada sertifikat, harusnya bisa dipetakan secara resmi oleh BPN. Tapi faktanya, tidak ada,” tegasnya.

Di Mana Peran Pemerintah?

Sebagai warga negara, Koya hanya ingin mendapatkan hak administratifnya. Ia tidak menggugat siapa pun, tidak mengklaim tanah orang lain, dan hanya ingin mendapatkan sporadik sebagai bentuk pengakuan atas lahan yang telah ia kuasai dan kelola.

“Selama persyaratan administratif lengkap dan sesuai dengan data resmi, tidak ada alasan bagi kelurahan dan kecamatan untuk menolak. Pemerintah harus profesional dan transparan dalam memberikan hak administratif kepada warga,” ujar Hadi.

Namun, hingga kini, Lurah Romang Lompoa dan Camat Bontomarannu belum memberikan tanggapan terkait alasan penolakan tersebut.

Koya masih menunggu, berharap ada kejelasan dari pihak yang seharusnya memberikan pelayanan publik. Baginya, ini bukan sekadar urusan selembar dokumen, tetapi sebuah pengakuan atas hak yang sudah ia pegang sejak lama.

Ketika pemerintah berbicara tentang pelayanan yang adil dan transparan, seharusnya perjuangan seperti yang dialami Koya Binti Manrau tidak perlu terjadi. Kini, bola ada di tangan aparat yang berwenang. Akankah mereka memberikan kejelasan, atau membiarkan ketidakpastian terus menggantung? (Tim Restorasi)

Klik untuk komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terpopuler

error: Content is protected !!