Opini
SURAT TERBUKA BUAT WALIKOTA MADYA MAKASSAR GANTI SEMUA LURAH DI KECAMATAN TAMALATEA PENJARAKAN MEREKA YANG KETAHUAN PUNGLI

OLEH : UPA LABUHARI SH MH
Sebagai putra daerah yang lahir dan dibesarkan di makassar 72 tahun lalu dan mencari sesuap makanan di Jakarta sebagai wartawan dan praktisi hukum , saya ikut bergembira atas pelantikan bapak Munafri Arifuddin yng populer dengan panggilan Appi bersama ibu Aliyah Mustika Ilham sebagai walikota dan wakil walikota Makassar oleh presiden Prabowo di istana negara Kamis lalu.
Saya bangga atas pelantikan ini, walaupun saya tidak mengenal secara langsung pak Munafri Arifuddin bersama ibu Aliyah Mustika Ilham .Saya hanya memantau kinerja pak Munafri Arifuddin bersama ibu Aliyah Mustika Ilham ketika berkampanye untuk mencapai jabatan ini lewat media terbitan makassar.
Walaupun hanya mengenal bapak dan ibu lewat pemberitaan media massa, tapi saya yakin kepercayaan masyarakat makassar akan kinerja bapak dan ibu untuk membawa kota makassar sebagai kota terbesar dan terindah di Indonesia timur akan terwujud.
Apalagi bapak dan ibu telah berjanji dalam berbagai kampanye bahwa bapak dan ibu dalam memimpin kota makassar bukan sebagai Penguasa yang kerjanya menyakitkan hati masyarakat.
Tapi bapak dan ibu bersama aparat Pemda lainnya akan menjadi pelayan masyarakat. Sungguh mulia tekad bapak dan ibu dalam memimpin kota Makassar lima tahun kedepan. Janji ini bapak dan ibu telah kumandangkan, bukan hanya didengar oleh seluruh warga Indonesia seantero bumi persada. Tapi juga didengar oleh Tuhan Yang Maha Esa yang empunya bumi ini, Insyaalah jika janji bapak dan ibu dapat melaksanakan dengan setulus tulusnya ditengah masyarakat Makassar maka kota kelahiranku, kebanggaanku akan kembali berjaja sama seperti ketika kota ini dipimpin oleh M daeng Patompo pada tahun 1965-1977.
Nama kota Makassar pada waktu itu begitu harum di mata seluruh bangsa ini. Dengan penuh kerja keras , Walikota yang berpangkat Letnan Kolonel TNI AD bersaing kerja keras dengan Gubernur DKI Jaya Letjen KKO Ali Sadikin dalam membangun kota Jakarta sebagai kota internasional. Bukan lagi sebagai Desa terbesar di dunia.
Kota Makassar pada waktu itu akan dibangun sebagai kota dagang, kota budaya, kota industri, dan kota Akademik dengan memekarkan wilayahnya sampai ke Maros,dan Gowa . Apa yang dicanangkan oleh Daeng Patompo itu menjadi kenyataan sampai sekarang, kota Makassar menjadi kota Dagang, kota Budaya, kota Industri dan kota akademik.
Sayangnya sepeninggalan Daeng Patommo, kota makassar redup dari cahaya pembangunan kota seperti Jakarta dan kota kota lainnya di Indonesia bagian Barat. Bahkan kota ini kalah dengan pembangunan kota lainnya di Indonesia Timur, Seperti Kalimantan Timur yang punya jalan tol dari Balikpapan sampai Samarinda sejauh 98 kilometer. Kota Makassar hanya punya jalan tol dari bandara Mandai sampai kota yang jaraknya kurang lebih 15 kilometer , sehingga kota kelahiranku sekarang ini hanya terkenal dengan nama kota banjir dan kota demo mahasiswa.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh kota ini sehingga tidak berkembang pembangunannya seperti kota lainnya di tanah air adalah kinerja aparatnya yang tidak profesional dengan hanya membebankan masyarakatnya sebagai orang yang harus tunduk pada aturan yang dikehendaki oleh aparat Pemda Makassar . Sebagai contoh bagaimana banyaknya oknum lurah harus dipenuhi permintaannya ketika masyarakat ingin mendapat pelayanan mengurus keabsahan tanah yang dimiliki. Tidak tanggung tanggung permintaan sang oknum lurah jika masyarakat ingin mengurus surat tanahnya sebagaimana himbauan pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian ATR/ BPN.
Sang oknum Lurah meminta untuk mendapatkan biaya pengurusan surat Sporadik sebesar Rp 200-300 juta.
Hal ini bukan cerita yang mengagetkankan masyarakat kota Makassar karena sudah terbukti dan dirasakan sendiri oleh keluarga Sekertaris Daerah Sulawesi Selatan Jufri Rahman ketika mereka mengurus surat Sporadik tanahnya yang terletak di kelurahan Ballang Baru kecamatan Tamalatea Makassar. Keluarga Sekda Pemda Sulsel ini diharuskan membayar ratusan juta rupiah jika ingin mendapat surat keterangan Sporadik dari lurah Ballang Baru.
Beruntung bahwa persoalan ini cepat terendus sehingga lurah yang bersangkutan dapat di pecat dari jabatannya dan tidak membawa korban bagi keluarga Sekda Pemda Sulsel.
Tapi walaupun sudah ada lurah yang dicopot karena mengenakan biaya ratusan juta terhadap masyarakat yang ingin mendapat surat keterangan sporadik, peristiwa ini tidak menjadi contoh yang baik. Sebab dari data yang penulis dapatkan di kota Makassar menyebutkan masih ada seorang lurah di Kecamatan Tamalatea yang bertahan untuk tidak menggubris permintaan masyarakat yang ingin mendapatkan surat sporadik tanpa membayar ratusan juta rupiah. Dengan demikian penyakit yang meresahkan masyarakat ini sudah mendarah daging dimata oknum Lurah yang ada di kawasan Kecamatan Tamalatea, suatu kawasan pantai dipinggiran kota makassar.
Untuk itu penulis mengharapkan agar bapak dan ibu Wali kota Makassar dapat mengganti semua Lurah se kecamatan Tamalatea khususnya mereka yang kedapatan tidak bekerja profesional sebagai pelayanan masyarakat. Dan kepada pengganti Lurah ini diberi ultimatum jika mereka kedapatan menyalahi tugasnya bukan hanya dipecat dari kepengawaiannya tapi diajukan ke pengadilan sebagai pelaku korupsi yang ancamannya diatas lima tahun.
Libatkan mereka untuk banyak berada ditengah masyarakat membersihkan keberadaan kampung dengan membuat semua saluran pembuangan air tidak ada sumbatan sampah. Sehingga ketika air hujan turun dengan derasnya tidak ada genangan air apalagi banjir. Dengan demikian Makassar akan terbebas dari sebutan kota Banjir atau kota negatif di Indonesia Timur. Semoga. (*)
