Uncategorized
“SP2HP Sudah Terbit, Tapi Tersangka Belum Ada: Polres Wajo Dinilai Lamban”

Restorasi News| Sengkang di pagi hari selalu sibuk. Jalan Andi Paggaru, yang menjadi urat nadi perniagaan kecil, dipenuhi lapak pedagang kaki lima (PKL). Aroma gorengan, teriakan penjual Es , Nasi dan deru kendaraan bercampur menjadi denyut kehidupan kota.
Namun, di balik hiruk pikuk itu, tersimpan cerita getir tentang dugaan pungutan liar (pungli) yang hingga kini tak kunjung tuntas.Awal Mula: Sejumlah PKL
Mengeluh Oktober 2024 silam, beberapa pedagang mengaku diminta membayar “uang sewa” untuk bisa berjualan di bahu jalan. Jumlahnya tidak kecil: mulai Rp500 ribu hingga Rp1 juta.
Padahal, area itu sejatinya adalah aset pemerintah.Keluhan pedagang segera sampai ke telinga wartawan lokal, Edi Sudirman, yang kemudian berani melaporkan kasus ini ke polisi.
Publik sempat heboh, terlebih setelah Dinas PUPR Wajo memastikan bahwa lapak tersebut bukan milik pribadi. Kemarahan Sang Pemilik Toko Pemilik toko, bernisal MR, langsung meradang. Ia menolak disebut melakukan pungli dan menuding wartawan terlalu mencampuri urusan pribadinya.
“Saya tidak terima tuduhan ini! Semua orang melakukan hal yang sama. Kenapa saya yang disorot?” katanya dengan nada tinggi saat dihubungi.
Namun bagi banyak pihak, argumen itu justru menguatkan dugaan bahwa praktik pungutan semacam ini sudah dianggap hal “biasa” di masyarakat, meski jelas melanggar hukum.
Harapan pada Proses Hukum Juli 2025, titik terang seakan datang. Edi menerima SP2HP resmi dari Satreskrim Polres Wajo. Surat bernomor B/SP2HP/S4 MI/RES.1.19/2025/Reskrim itu menandakan kasusnya sedang ditangani.
Namun harapan itu perlahan memudar. Agustus 2025, hampir setahun berlalu, belum juga ada penetapan tersangka.“Saya melihat proses ini terlalu lambat.
Padahal bukti dan keterangan sudah jelas,” keluh Edi, yang tetap bersikukuh mengawal kasus ini meski sempat mendapat intimidasi verbal.
Kritik dari Praktisi Hukum Praktisi hukum YBH MiM Hadi Soestrisno SH menilai lambannya penanganan ini sangat janggal.
Menurutnya, dugaan pungli bisa langsung dijerat dengan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan dan Pasal 12 huruf e UU Tipikor.
“Kalau sudah jelas lahan itu milik pemerintah, lalu ada pungutan di atasnya, itu pungli. Tidak perlu menunggu berlarut-larut. Aparat bisa segera tetapkan tersangka,” ujarnya.
Ia menambahkan, Perkap 14 Tahun 2012 mewajibkan penyidik memberi kepastian perkembangan perkara setiap 30 hari. Sedangkan UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) menjamin hak setiap orang atas kepastian hukum.
“Kalau hampir setahun tak ada kepastian, publik patut mempertanyakan integritas penegakan hukum,” tambahnya.
Menunggu Akhir Sebuah Pertarungan Hari-hari di Jalan Andi Paggaru terus berjalan. Pedagang tetap berjualan, masyarakat tetap berbelanja, dan lalu lintas tetap riuh. Tapi di balik keramaian itu, ada tanda tanya besar: apakah hukum benar-benar bekerja untuk rakyat kecil?
Kasus pungli ini lebih dari sekadar sengketa antara pedagang dan pemilik toko. Ia adalah cermin tentang bagaimana hukum ditegakkan atau diabaikan di tingkat lokal.
Dan sampai kini, publik masih menunggu. Apakah keadilan akan hadir di Sengkang, atau akan tenggelam bersama riuhnya suara kendaraan yang tak pernah tidur?-
Editor: Amelia
