Kasus Korupsi
“Ketua Dewan Pers Layak Dikritik: Antara Arogansi Lembaga dan Penyimpangan Amanat UU Pers”

Restorasi News| Pernyataan Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR RI pada 7 Juli 2025, mengundang gelombang kecaman. Ia menyebut istilah “wartawan bodrex” sebagai “preman dalam bentuk lain” yang menggunakan kartu palsu dan tidak memiliki kompetensi jurnalistik karena tidak terdaftar di Dewan Pers.
Pernyataan tersebut bukan hanya keliru secara hukum, tetapi juga mencerminkan sikap arogan yang berseberangan dengan semangat kebebasan pers dalam negara demokrasi.
⚖️ UU Pers Tak Kenal Wajib Daftar
Mengacu pada Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, tidak satu pun pasal yang mewajibkan wartawan, organisasi pers, ataupun media massa untuk mendaftar ke Dewan Pers demi memperoleh legitimasi.
Pasal 7 ayat (1) menyatakan: “Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.”
Pasal 15 ayat (2) huruf g menegaskan bahwa tugas Dewan Pers adalah “mendata perusahaan pers”, bukan menerima pendaftaran.
Artinya, tidak ada kewajiban administratif untuk terdaftar, dan tidak ada satu pun lembaga – termasuk Dewan Pers – yang berhak menentukan siapa yang boleh atau tidak menjadi wartawan.
🧨 Stigmatisasi “Wartawan Bodrex”: Bahaya Narasi Tunggal
Frasa “wartawan bodrex” sebagai preman adalah bentuk stigmatisasi brutal terhadap insan pers yang tak terafiliasi dengan Dewan Pers.
Kita tidak menutup mata bahwa memang ada oknum yang menyalahgunakan profesi wartawan. Namun, menyamaratakan semua wartawan independen atau komunitas dengan label preman adalah langkah yang tidak etis, tidak cerdas, dan membahayakan kesatuan dunia pers nasional.
🎙️ Farid Mamma: Dewan Pers Sudah Melampaui Kewenangannya
Direktur PUKAT, Farid Mamma, SH., MH., menilai bahwa pernyataan Ketua Dewan Pers adalah bentuk over-claim atau klaim sepihak yang melewati batas tugas kelembagaan.
“Komaruddin Hidayat keliru besar jika menganggap hanya Dewan Pers yang berhak mengesahkan siapa wartawan yang sah. Itu sesat pikir dan bertentangan dengan hukum. Pers kita dibangun atas semangat kemerdekaan, bukan birokratisasi.” — ujar Farid.
Farid menambahkan, jika Dewan Pers ingin menertibkan profesi, maka harus dilakukan dengan pendekatan edukatif dan inklusif, bukan dengan stigmatisasi yang seolah menjustifikasi bahwa mereka adalah satu-satunya yang paling sah.
Lebih jauh, ia menyebut bahwa praktik semacam ini justru membuka ruang penyalahgunaan wewenang, terlebih jika anggaran besar yang diterima lembaga ini tidak sejalan dengan misi pembinaan.
“Dewan Pers juga harus transparan. Uang ratusan miliar yang diterima dari negara itu milik rakyat. Kalau dipakai hanya untuk mengkotak-kotakkan wartawan, maka itu bisa masuk wilayah pelanggaran etik dan moral kebangsaan.”
🧾 Suara ASWIN dan GAWARIS: Kritik yang Sah dan Terukur
Ketua Dewan Pembina ASWIN, Aceng Syamsul Hadie, menyebut pernyataan Ketua Dewan Pers sebagai “ngawur dan dangkal tanpa dasar hukum”.
Hal senada disampaikan Ketua Umum GAWARIS, Asep Suherman, SH, yang menganggap pernyataan tersebut bisa memicu konflik horizontal antarpelaku media.
Mereka menekankan bahwa UU Pers menjamin kebebasan setiap warga negara mendirikan dan mengelola media, dan keberadaan lembaga seperti Dewan Pers tidak boleh menjadi alat pembatas kebebasan tersebut.
💰 Dewan Pers Perlu Introspeksi: Dana Publik dan Fragmentasi
Alih-alih membina, Dewan Pers justru menciptakan pembelahan dan kesenjangan. Tidak heran jika muncul tuntutan agar penggunaan dana ratusan miliar dari negara ke lembaga ini diaudit secara terbuka.
Apakah benar dana sebesar itu digunakan untuk penguatan ekosistem pers? Atau justru mempersempit ruang kebebasan pers yang tak tunduk pada struktur?
🔚 Penutup: Dewan Pers Bukan “Tuhan Pers”
Dewan Pers adalah lembaga independen, bukan lembaga penguasa. Mandatnya adalah membina, bukan menghakimi. Pernyataan Ketua Dewan Pers kali ini jelas keluar dari koridor etik dan tugas kelembagaan.
Kami mendorong Ketua Dewan Pers untuk:
- Mengklarifikasi dan meminta maaf secara terbuka.
- Membuka dialog nasional dengan semua elemen pers, tanpa diskriminasi.
- Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kelembagaan.
Indonesia tidak butuh “polisi pers”. Indonesia butuh lembaga yang memperjuangkan kemerdekaan pers tanpa syarat, tanpa sekat.
🖊️ laporan: ky| Editor: Angel