Hukum
Tertawa di Atas Derita Pandemi: Potret Suram Penegakan Hukum

Oleh: Ricky
Jakarta, Juni 2025 — Di tengah riuh sirine ambulans dan tangis keluarga yang kehilangan orang tercinta karena pandemi COVID-19, tiga orang duduk tenang di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta. Mereka bukan petugas medis. Bukan juga relawan kemanusiaan. Mereka adalah terdakwa korupsi alat pelindung diri (APD) yang seharusnya menjadi tameng nyawa bagi para pejuang di garda depan.
Vonis telah dijatuhkan Kamis lalu. Ringan. Terlalu ringan, menurut banyak orang.
Budi Sylvana, mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, hanya dijatuhi 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Dua rekannya dari swasta, Ahmad Taufik dan Satrio Wibowo, divonis 11 dan 11,5 tahun penjara dengan tambahan uang pengganti ratusan miliar. Meski nilainya besar, publik merasa vonis ini masih jauh dari rasa keadilan.
“Mereka korupsi saat rakyat Indonesia berjuang melawan kematian,” kata Ismail, Ketua Forum Jaringan Masyarakat Anti Korupsi (Forjimak), dengan suara tertahan amarah.
Kesempatan dalam Kesempitan
Saat negara bertarung melawan pandemi, ketiganya justru mengambil kesempatan menumpuk kekayaan. APD yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi lahan bisnis gelap penuh markup dan permainan kotor. Mereka bukan hanya mencuri uang negara, tetapi juga mencuri rasa aman, bahkan mungkin nyawa.
Ismail mempertanyakan, apakah hakim yang memutuskan vonis tersebut benar-benar melihat peristiwa ini dalam bingkai utuh?
“Apakah hakim pernah membayangkan bagaimana rakyat bergelut dengan penderitaan saat itu? Apakah mereka tega hanya menjatuhkan hukuman ringan kepada pelaku kejahatan di tengah bencana?”
“Bajingan Tak Berperasaan”
Kata-kata Ismail tidak main-main. Ia menyebut para terdakwa sebagai “bajingan tak berperasaan”—istilah keras namun mencerminkan amarah yang ditahan terlalu lama.
“Mereka tidak sekadar mencuri uang. Mereka menampar seluruh rakyat Indonesia. Saat rakyat lapar, takut, kehilangan pekerjaan dan orang-orang tercinta, mereka pesta di balik kontrak pengadaan,” lanjutnya.
Ia juga menyoroti ironi keadilan yang timpang. Kasus-kasus kecil kerap divonis berat, sementara korupsi besar hanya dihukum ringan. “Komisi Yudisial harus turun tangan. Ini bukan hanya soal hukum, tapi soal hati nurani bangsa,” katanya.
Pesan dari PUKAT Sulsel
Farid Mamma, Direktur PUKAT Sulsel, juga angkat bicara. Menurutnya, vonis ini tidak cukup untuk memberi efek jera. Ia mengingatkan bahwa vonis ringan hanya akan memperpanjang daftar panjang ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum.
“Korupsi di masa krisis adalah kejahatan luar biasa. Ini bukan hanya soal uang, tapi soal kemanusiaan. Kalau vonisnya ringan, pesan apa yang ingin kita sampaikan ke generasi mendatang?” katanya.
Farid mengusulkan agar UU Tipikor dipertegas, dengan klausul hukuman berat khusus untuk kejahatan korupsi di masa bencana nasional.
Bukan Akhir, Tapi Awal Pertanyaan
Kasus ini memang sudah divonis. Tapi di luar ruang sidang, ada pertanyaan yang belum dijawab:
Untuk siapa hukum ditegakkan?
Berapa besar kerugian negara dalam proses hukum, dari penyidikan hingga persidangan?
Dan… apakah keadilan hanya berlaku bagi mereka yang lemah?
Sementara para terdakwa akan menjalani hukuman yang sebagian publik nilai “terlalu murah”, para keluarga korban COVID-19 tetap menatap sunyi pada kursi kosong di ruang makan mereka. Yang hilang takkan kembali.
Dan luka bangsa ini belum akan sembuh.
