Terhubung dengan kami

Hukum

Di Balik Jeruji, Ada Bisnis: Warung Makan Lapas Kelas 1 Makassar dan Kisah Mitra yang Merugi


Restorasi News| Suasana di Lapas Kelas I Makassar siang itu tampak tenang. Terik matahari mengintip di balik pagar tinggi berlapis kawat duri. Dari balik pos penjagaan, beberapa petugas terlihat sibuk memantau aktivitas warga binaan. Di antara kesibukan itu, saya—seorang jurnalis—mencoba menemui Kepala Lapas. Namun salah satu petugas mengatakan, “Maaf Pak, Bapak Ka Lapas sementara Zoom.”

Sambil menunggu kesempatan wawancara, saya sempat berfikir dimana area koperasi “Jera”, tempat yang belakangan menjadi sorotan. Bukan karena program pembinaan napi atau cerita sukses reintegrasi sosial. Tapi karena keluhan seorang pengusaha ayam crispy, Saria, yang mengaku dirugikan hingga puluhan juta rupiah dalam kerja sama warung makan di dalam lapas.

Saria bukan pengusaha besar. Ia hanya seorang warga biasa yang mencoba peruntungan lewat kerja sama dengan koperasi Lapas. Ia menyediakan makanan pesanan untuk warga binaan, berdasarkan sistem yang katanya telah disepakati bersama. Tapi sejak pertengahan 2022 hingga kini, ia mengaku belum pernah menerima pembagian keuntungan yang dijanjikan. “Saya rugi sampai Rp82 juta. Tidak pernah ada laporan keuangan yang transparan,” keluhnya dalam sebuah pemberitaan.

Masalah tak berhenti di situ. Saria juga menyebut bahwa pemesanan makanan oleh napi dilakukan lewat mobile banking—sebuah praktik yang menyalahi aturan pemasyarakatan jika benar terjadi. Karena dalam regulasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, narapidana tidak diperkenankan mengakses alat komunikasi dan transaksi keuangan secara langsung. Kebutuhan warga binaan harus melalui penanggung jawab layanan koperasi, dengan kontrol ketat dari petugas pemasyarakatan.

Mekanisme pengadaan makanan warga binaan sendiri telah diatur melalui lelang terbuka oleh Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kementerian Hukum dan HAM. Vendor yang terpilih wajib menyuplai makanan berdasarkan standar gizi yang ditetapkan, dan proses pengawasan dilakukan oleh tim lapas bersama petugas kesehatan. Sedangkan untuk usaha lain seperti warung koperasi, mekanisme kerja sama dengan pihak ketiga harus dituangkan dalam MoU, disertai laporan keuangan berkala yang dapat diakses oleh pengurus dan mitra.

Terkait masalah ini, Ketua Yayasan Bantuan Hukum MIM, Hadi Soestrisno, SH, angkat bicara. Ia menyayangkan jika benar terjadi pelanggaran dalam tata kelola usaha koperasi di lingkungan lembaga pemasyarakatan. “Jika memang tidak ada laporan keuangan dan mitra usaha merasa dirugikan, itu bisa masuk ke ranah wanprestasi, bahkan dugaan tindak pidana penipuan atau penggelapan, tergantung dari alat bukti yang ada,” tegas Hadi.

Ia menambahkan, lapas bukan hanya tempat pembinaan, tetapi juga harus menjadi contoh dalam tata kelola yang akuntabel dan taat hukum. “Ketika bisnis di dalam lapas justru menyakiti pihak luar yang ingin bekerja sama, maka bukan hanya citra institusi yang tercoreng, tetapi juga kepercayaan publik terhadap sistem pemasyarakatan kita.”

Saya menutup catatan hari itu tanpa sempat bertemu langsung dengan Kepala Lapas. Tapi saya pulang membawa lebih dari sekadar harapan wawancara—melainkan tekad untuk menggali lebih dalam: benarkah ada sistem tak sehat di balik tembok tinggi itu? Dan siapa yang sebenarnya diuntungkan dari bisnis yang lahir dalam bayang-bayang pembinaan?

laporan TIM


Klik untuk komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terpopuler

error: Content is protected !!