Hukum
Proyek Pedestrian Metro Tanjung Bunga Mangkrak: Dugaan Kongkalikong, Status Lahan Tak Jelas, dan Kerugian Daerah

Restorasi News| MAKASSAR – Proyek pembangunan pedestrian di kawasan Metro Tanjung Bunga, Kota Makassar, kembali menjadi sorotan publik. Di bawah kepemimpinan Wali Kota Makassar saat ini, Munafri Arifuddin, warga menyoroti kondisi proyek yang kini mangkrak, terbengkalai, dan tak terurus.
Bangunan hasil proyek tersebut terlihat rusak, penuh coretan, ditumbuhi semak belukar, dan jauh dari kesan sebuah kawasan pedestrian yang nyaman. Padahal, proyek ini telah menyerap anggaran daerah yang tidak sedikit.
Masyarakat menduga, mangkraknya proyek ini terjadi akibat perencanaan yang tidak matang dan sarat dengan praktik kongkalikong, sehingga tetap dipaksakan berjalan meski tidak memenuhi syarat administratif yang layak.
“Kalau dari awal memang sudah dipaksakan, tidak heran kalau hasilnya begini. Tidak ada kepastian hukum soal lahannya, tapi tetap dibangun,” ujar Hasan,
Awal Mula Proyek dan Polemik Status Lahan
Proyek pedestrian ini merupakan bagian dari pembangunan infrastruktur di Jalan Metro Tanjung Bunga yang dimulai sejak masa kepemimpinan Penjabat Wali Kota Makassar, Prof Rudy Djamaluddin, pada 2020. Kala itu, Bos PT Bosowa Group, Aksa Mahmud, bersama pengusaha lain seperti PT GMTD (Lippo Group), PT Kalla Group, dan CT Corp milik Chairul Tanjung, menyerahkan lahan kepada Pemkot Makassar untuk kepentingan pelebaran jalan dan pembangunan pedestrian.
Penyerahan lahan dilakukan secara simbolis dengan acara pematokan dan penyerahan sertifikat pada 13 September 2020. Namun, proses hibah ini tidak melibatkan DPRD Makassar sebagai unsur legislatif. Ketua Komisi C DPRD Makassar, Arifin Daeng Kulle, mengaku akan menelusuri keabsahan penyerahan lahan tersebut pada waktu itu dia masih menjabat.
Tender dan Penghentian Proyek oleh Wali Kota Danny Pomanto
Pada masa pemerintahan Wali Kota Mohammad Ramdhan ‘Danny’ Pomanto, proyek pedestrian ini dihentikan. Ia menilai proyek tersebut bermasalah secara hukum dan administrasi. Salah satu alasannya, proyek dibangun di atas lahan yang bukan milik pemerintah secara resmi.
“Alas hukumnya sampai sekarang tidak ada. Hanya secarik kertas pernyataan, bukan alas hak. Artinya, terjadi pelanggaran hukum. Kami tidak mau ikut-ikutan,” tegas Danny dalam rapat bersama stakeholder di Balai Kota pada 1 Maret 2021.
Danny memutuskan mengalihkan anggaran pembangunan tahap dua senilai Rp210 miliar ke penanganan Covid-19. Ia menilai, jika proyek ini dilanjutkan, berpotensi menjadi temuan hukum karena tidak memiliki dasar hukum yang sah.

Anggaran Fantastis, Realisasi Minim
Proyek pedestrian Metro Tanjung Bunga awalnya dianggarkan sebesar Rp127 miliar pada APBD 2020 untuk pembangunan sepanjang 1,3 kilometer. Namun akibat polemik lahan, proyek hanya terealisasi sepanjang 250 meter. Anggaran yang terserap diperkirakan hanya Rp30 miliar, sementara sisanya hampir Rp100 miliar menjadi Silpa (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran).
Kemudian pada 30 Agustus 2021, proyek ini ditender ulang dengan nilai HPS sebesar Rp89,2 miliar dan pagu sebesar Rp91 miliar, yang diusulkan kembali oleh Dinas Pekerjaan Umum Kota Makassar. Namun progres proyek tetap tak menunjukkan kemajuan berarti.
Klaim Tanah dan Ketidakjelasan Hukum
Pada salah satu sisi dinding proyek, sempat terpasang spanduk bertuliskan “Tanah Ini Milik Bosowa, Dilarang Membangun”, yang menandai kembalinya klaim kepemilikan lahan oleh pihak PT Bosowa Group. Hal ini memperkuat dugaan bahwa proses hibah sebelumnya belum diselesaikan secara sah dan legal. Ketidakjelasan hukum ini menjadi akar persoalan yang membuat proyek tak bisa berlanjut.
Pakar Hukum Tata Negara, Prof Aminuddin Ilmar, menegaskan bahwa alokasi anggaran pembangunan di atas lahan tanpa alas hak resmi melanggar ketentuan hukum.
Desakan YBH MIM dan Temuan BPK: Dorongan Kuat untuk Pemeriksaan
Yayasan Bantuan Hukum Masyarakat Indonesia Mandiri (YBH MIM) juga ikut angkat suara. Melalui ketuanya, Hadi Soestrisno, SH, YBH MIM mendorong agar Aparat Penegak Hukum (APH) segera membongkar oknum-oknum di balik mangkraknya proyek pedestrian Metro Tanjung Bunga.
“Kami melihat proyek pedestrian Metro Tanjung Bunga tidak bisa lagi dilanjutkan sesuai perencanaan awal sebab lokasi proyek yang sudah dibangun sudah ditutup pagar bahkan sudah banyak berdiri bangunan toko di atas lahan yang awalnya dihibahkan maupun yang masuk dalam rencana awal,” ujar Hadi Soestrisno. Selasa 29/4/25
Ia menambahkan bahwa berdasarkan data Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK, proyek tersebut juga telah memunculkan temuan. Hal ini bisa menjadi pintu masuk bagi APH untuk melakukan pemeriksaan mendalam.
“Kami siap membantu APH jika dibutuhkan laporan atau informasi dan data yang kami miliki, untuk memperkuat proses penyelidikan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam proyek pedestrian Metro Tanjung Bunga yang kini mangkrak,” tegasnya.
Kasus mangkraknya proyek pedestrian Metro Tanjung Bunga menjadi potret buram tata kelola pembangunan kota. Ketidakjelasan status lahan, lemahnya perencanaan, dan dugaan kongkalikong menunjukkan perlunya transparansi dan pengawasan ketat terhadap proyek-proyek berskala besar. Kini, di bawah kepemimpinan Munafri Arifuddin, publik menunggu gebrakan dan ketegasan untuk menuntaskan masalah ini serta memastikan pertanggungjawaban atas anggaran yang sudah dikeluarkan.
( Tim )
