Hukum
“Renovasi Stadion BJ Habibie Molor Lagi: Janji PT Usaha Subur Jaya Dipertanyakan”

Proyek Stadion BJ Habibie Molor, YBH MIM: PPK Harus Bertanggung Jawab!
Restorasi News| Parepare – Harapan publik untuk melihat Stadion Gelora BJ Habibie kembali menjadi kandang megah bagi PSM Makassar terus diuji oleh kenyataan di lapangan. Renovasi yang seharusnya rampung sejak 2024 kembali molor. Setelah diberikan tambahan waktu 50 hari, kini kontraktor mengusulkan perpanjangan 40 hari lagi. Sebuah siklus perpanjangan yang membuat banyak pihak bertanya-tanya: Apakah stadion ini benar-benar akan selesai dalam waktu dekat?
Janji yang Tak Kunjung Terealisasi
Bagi suporter PSM Makassar, stadion ini bukan sekadar tempat bertanding, tetapi juga simbol kebanggaan. Namun, harapan mereka harus tertahan akibat keterlambatan yang berulang. Beberapa komponen masih membutuhkan perbaikan, termasuk plafon dan cat yang belum sempurna.
Mahris, Leader Konsultan Stadion BJ Habibie, menegaskan bahwa stadion sebenarnya sudah rampung secara fisik. “Jadi itu 40 hari diminta supaya manuver waktunya masih ada. Karena kalau dipaksakan, muncul lagi opini di luar, padahal di lapangan belum siap,” katanya. Seperti dikutip dari salah satu laman media.
Pernyataan ini justru memicu tanda tanya besar: jika memang secara fisik sudah selesai, mengapa masih perlu perpanjangan waktu
Sejumlah pihak mulai meragukan alasan keterlambatan ini. Proses asesmen dari PSSI dan Polri serta kontrak dengan PSM Makassar disebut-sebut sebagai faktor administratif yang membuat stadion belum bisa digunakan. Namun, benarkah administrasi menjadi alasan utama, atau ada faktor lain yang lebih mendasar?
Kekecewaan yang Semakin Dalam
Dampak dari keterlambatan ini bukan hanya soal stadion yang belum bisa digunakan, tetapi juga menyangkut kepercayaan publik terhadap pelaksanaan proyek ini.
Bagi suporter, penantian ini terasa seperti harapan yang terus digantung. “Kami hanya ingin melihat PSM kembali bertanding di kandangnya sendiri. Setiap kali ada perpanjangan waktu, rasanya seperti janji yang terus diulang tanpa kepastian,” ujar Fajar, seorang suporter yang ditemui di Parepare.
Tidak hanya suporter, penasehat Forjimak pun mulai mempertanyakan kredibilitas proyek ini. “Seharusnya perpanjangan waktu pertama sudah cukup untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan. Jika setelah 50 hari masih ada permintaan tambahan 40 hari, ini bisa jadi indikasi ketidaktepatan perencanaan atau bahkan kelalaian,” kata Mulyadi saat ditemui Jumat 21/2/3025
Regulasi dan Akuntabilitas
Dalam regulasi pengadaan barang dan jasa, seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018, perpanjangan wpaktu hanya dapat diberikan dalam kondisi tertentu, seperti perubahan ruang lingkup atau force majeure. Jika keterlambatan disebabkan oleh faktor internal kontraktor, maka seharusnya dikenakan denda keterlambatan, bukan justru diberikan tambahan waktu tanpa konsekuensi.
Banyak pihak berharap ada audit independen terhadap proyek ini untuk memastikan bahwa tidak ada unsur kelalaian atau permainan di balik perpanjangan waktu yang terus diberikan. Jika kontraktor terbukti tidak mampu memenuhi kewajiban, maka opsi pemutusan kontrak harus mulai dipertimbangkan.
Secara terpisah, Ketua YBH MIM Hadi Soetrisno menambahkan bahwa tambahan waktu yang diberikan kepada kontraktor menunjukkan tidak adanya ketegasan dari pemerintah dalam menindak keterlambatan proyek.
“Kalau sejak awal sudah tidak bisa menyelesaikan tepat waktu, kenapa harus diberi kesempatan kedua? Ini yang harus kita pertanyakan, apakah ada permainan antara PPK dan penyedia jasa?” tegasnya.
Mengulang Kesalahan Stadion Barombong
Proyek Stadion Barombong yang menghabiskan lebih dari Rp 240 miliar juga mengalami nasib serupa. Stadion yang seharusnya menjadi ikon olahraga di Makassar kini hanya menjadi bangunan kosong yang terbengkalai. Hal ini diduga terjadi karena buruknya perencanaan, lemahnya pengawasan, dan pemilihan kontraktor yang tidak kompeten.
“Dulu, Stadion Barombong juga diberikan adendum waktu, tetapi hasilnya tetap saja proyek mangkrak. Jangan sampai Stadion BJ Habibie menjadi Stadion Barombong kedua,” lanjut Hadi.
Jika proyek yang menelan Rp 18,2 miliar ini terus mengalami keterlambatan tanpa ada konsekuensi tegas bagi kontraktor, maka publik pantas curiga ada permainan di balik proyek ini.
YBH MIM Desak Audit dan Evaluasi
Melihat pola keterlambatan proyek-proyek besar di Sulawesi Selatan, YBH MIM mendesak Dirjen PUPR serta Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) melakukan audit menyeluruh terhadap proyek Stadion BJ Habibie, termasuk proses tender yang memenangkan PT Usaha Subur Jaya.
“Jangan sampai proyek ini menjadi ladang keuntungan bagi segelintir orang, sementara masyarakat yang dirugikan. Anggaran Rp 18,2 miliar itu bukan uang kecil, dan harus dipertanggungjawabkan penggunaannya,” tegas Hadi.
Selain itu, ia juga meminta agar PPK yang bertanggung jawab dalam proyek ini dievaluasi. Jika terbukti ada permainan dalam proses lelang atau pemberian adendum waktu, maka bukan hanya kontraktor yang harus bertanggung jawab, tetapi juga pejabat yang terlibat dalam pengambilan keputusan.
“Kami akan terus mengawal kasus ini agar tidak berakhir seperti Stadion Barombong. Masyarakat harus tahu ke mana anggaran ini mengalir dan mengapa proyek ini molor,” pungkas Hadi.
Meski berbagai kekecewaan bermunculan, harapan untuk melihat Stadion Gelora BJ Habibie selesai dengan kualitas terbaik masih ada. Para pekerja di lapangan terus berusaha menyelesaikan sisa pekerjaan. Namun, apakah benar 40 hari ini akan menjadi perpanjangan terakhir, atau justru akan ada alasan baru yang kembali mengulur waktu?
Suporter, warga Parepare, dan pecinta sepak bola Indonesia masih menunggu dengan harapan yang semakin diuji oleh waktu. Satu hal yang pasti, janji yang terus diulang tanpa kepastian hanya akan menambah panjang daftar kekecewaan.
Sampai berita ini diturunkan, PPK dan PT Usaha Subur Jaya belum memberikan klarifikasi terkait keterlambatan ini. Akankah Stadion BJ Habibie bernasib sama dengan Stadion Barombong?
(Tim Restorasi)
